Murray Bookchin – Ekologi dan Anarkisme

Murray Bookchin – Ekologi dan Anarkisme
Penerjemah: Bima Satria Putra (Pustaka Catut, 2018)
Tebal: xxix + 175 hlm
Harga: Rp 60.000,-

Sekalipun gagasan Murray Bookchin sangat revolusioner, sayang citranya tidak mendukung kesan yang sepadan. Perutnya yang buncit menunjukan bahwa ia tidak banyak melakukan aktifitas fisik. Rambutnya yang pirang, menambah kesan klise seorang kakek yang masih tinggal di kampung halaman, dimana kita –maksudnya orang-orang Eropa Barat atau Amerika- kembali setahun sekali untuk memeluknya, lalu mendengarkan kisah-kisah dongeng atau pengalaman masa kecilnya saat mendaki gunung atau berlari-lari di peternakan. Coba saja mencari Bookchin di internet, foto-foto yang muncul tidak menunjukan kesan yang militan. Tidak berorasi, tidak memanggul senjata, tidak memimpin aksi, terlalu banyak tersenyum pula. Pengalaman hidupnya tidak diwarnai aksi-aksi sabotase atau pemberontakan, menyebarkan konspirasi, upaya pengorganisiran dan agitasi, pemenjaraan dan dikejar-kejar polisi sehingga harus melanglang buana dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak tipikal tokoh-tokoh anarkis seperti Errico Malatesta, Subcommandante Marcos, atau yang mungkin agak elit, Nestor Makhno. Sederhananya, ia tampak tidak revolusioner dan susah untuk menjadi tokoh militan anarkis populer yang dikagumi dan posternya ditempel di tembok-tembok.

Bookchin malah seperti kebanyakan akademisi borjuis Amerika yang mengajar di beberapa perguruan tinggi hingga ke kota-kota yang tidak dikenal, yang senang berdiskusi dengan murid-murid yang mengaguminya, pergi ke kafe untuk minum kopi dan membicarakan politik domestik, terlalu banyak minum kopi bahkan, sehingga ketika ia balik ke rumah ia terlelap pagi sekali setelah lelah mengerjakan esai sepanjang malam. Tapi, jika sekarang kita membaca esai yang diserahkan Bookchin kepada kita, dengan mudah kita bisa menarik kesimpulan bahwa esai-esainya menunjukan komitmen yang mendalam akan cita-cita seorang intelektual revolusioner untuk mewujudkan dunia yang lebih baik dan lebih adil, dengan keresahan-keresahan yang dijabarkan dengan runut dan lancar, lalu membedahnya dengan sangat jelas.

Esainya yang kaya analitis dan tajam, sangat panjang, membosankan, dan dipenuhi dengan istilah yang susah dipahami, hal yang mana semakin mempersulit penerjemahan esai-esai tersebut. Dan jika boleh jujur, sebenarnya bukan menjadi suatu pengantar yang baik untuk mengenal anarkisme. Untuk mempermudahnya, saya menambahkan banyak catatan baik di dalam dan kaki tulisannya, sembari tetap mempertahankan istilah tersebut untuk mempertahankan gaya intelektual yang otentik, selain sebagai bentuk edukasi. Saya membagi istilah-istilah esoterik tersebut sebagai istilah yang kurang populer dan tidak populer sama sekali. Tapi saya hanya akan menjelaskan untuk yang kedua, karena saya tidak ingin memelihara kemalasan pembaca dengan menjelaskan setiap istilah yang kurang populer tersebut, sekaligus bisa dibayangkan pula bagaimana semakin sulit bagi pembaca untuk memahami suatu konsep apabila pikiran terlalu sering diarahkan dan terhenti untuk memahami istilah yang asing. Saya juga banyak membuat miring (italic) untuk memberikan penekanan tambahan terhadap kalimat-kalimat dan gagasan penting dari Bookchin.

Tetapi perlu diingat, berbeda dengan kebanyakan intelektual lain, semuanya itu jelas-jelas tidak dimaksudkan oleh Bookchin untuk mendukung kesan berlagak cerdas. Sebaliknya, ia sebenarnya berusaha sebaik mungkin untuk menjelaskan konsep-konsep penting dalam karyanya dengan tidak mengorbankannya melalui penggunaan kata-kata yang lebih sederhana. Dengan mudah pula dalam esai-esainya, berkali-kali ia menunjukkan kekesalan terhadap logika over-simplifikasi, anti-intelektualisme, nalar-nalar yang malas dan bentuk kritik yang salah tempat. Ia mendesak kita untuk memikir lebih dalam dan luas untuk meninjau ulang fenomena-fenomena sosial. Sudah begitu, menurut Janet Biehl, murid dan rekan perjuangan hingga akhir hayatnya, karya-karyanya diterbitkan di media yang tidak populer. Hal ini membuat karya-karyanya menjadi semakin kurang dilirik.

Kejatuhan Uni Sovyet, memberikan ruang bagi sisi libertarian dari sosialisme untuk dibaca dan dikenal kembali. Murray Bookchin, sungguh, berada dalam kesempatan yang tepat di tengah pencapaian teoritiknya. Ia mengkritik Gerakan Hijau yang semula berorientasi parlementer dengan perbaikan legislasi semata, menjadi sebuah gerakan yang bertekad membangun demokrasi akar rumput sebagai prasyarat sebuah bentuk masyarakat politik yang ekologis, sekalipun hingga sekarang tidak menunjukan hasil yang signifikan. Ia juga menyerang kecenderungan ekologi dalam (deep ecology) yang tengah menjamur dalam gerakan-gerakan lingkungan pada waktu itu, serta menyeretnya ke ekologi sosial (social ecology). Baru-baru ini, refleksi ulang gerakan pembebasan Kurdi, telah membuang marxisme-leninisme ke keranjang sampah, dan di tengah krisis politik di Suriah, telah melahirkan suatu revolusi anarkisme dalam bentuknya yang demokratik yang mengklaim telah terinspirasi dari gagasan munisipalisme libertarian.

Kondisi di Indonesia, adalah sama seperti kecenderungan krisis ekologi secara global. Hutan tropis kita yang kaya, dengan biodiversitasnya, semakin terancam oleh deforestasi dan kebun sawit monokultur. Tambang-tambang semakin menggila. Pembangunan area-area industri baru telah mengkonversi lahan pertanian, yang di satu sisi membutuhkan lebih banyak lagi pembangkit listrik yang kotor, serta di sisi lain telah menyebabkan perluasan lahan pertanian yang baru di kawasan timur, yang mengusik tanah ulayat masyarakat adat. Indonesia menjadi medan pertempuran yang sesungguhnya dari upaya menghalau penetrasi kapital.

Tanpa bermaksud mengenyampingkan manfaat praktisnya, jalur legislasi dan yudisial, memang sengaja dibentuk untuk memenuhi nafsu dari tuntutan hukum “tumbuh atau mati” dari sistem kapitalisme. Negara adalah perangkat untuk menjamin dalil tersebut. Upaya-upaya reformis telah membutakan dan mengacaukan kita dari permasalahan yang sesunguhnya. Kita membutuhkan bentuk konservasi yang lebih langsung di lapangan, dan di tengah kegagalan permanen pergerakan ekologi, masyarakat adat dan agraria, prospek anarkisme sangat cerah. Tetapi hal ini membutuhkan analisis dan platform untuk tujuan jangka panjang, yang mengisi kekosongan krusial di tengah bentuk-bentuk aksi langsung temporer jangka pendek. Maksudnya, bentuk alternatif macam apa yang ditawarkan, andaikan saja upaya proyek pembangunan PLTU Batubara berhasil digagalkan misalnya? Sebab tanpa perombakan secara menyeluruh, kita hanya menunda permasalahan yang sama. PLTU akan terus dibutuhkan untuk menunjang sistem yang bobrok ini. Pemikiran Bookchin saya kira sangat tepat untuk mengisinya.

Ekologi sosial berpandangan bahwa eksploitasi manusia terhadap alam bukanlah produk dari kerangka pikir antroposentris, melainkan manifestasi dari dorongan-dorongan yang bertanggung jawab terhadap praktek penindasan manusia oleh manusia. Ekologi Sosial memandang penindasan manusia, yang secara luas dipahami sebagai pengekangan kebebasan individu dan perkembangan diri, sebagai sebuah problem struktural dalam sistem sosial yang didasarkan atas relasi kuasa dan dominasi. Oleh karena itu, ekologi sosial berpandangan bahwa kunci membangun relasi yang lestari dengan alam adalah perwujudan desentralisasi lingkungan politik dengan kehadiran komunitas-komunitas semi-otonom yang mengkonstruksi cara-cara hidup yang merefleksikan keragaman nilai-nilai keotentikan manusia dan keragaman konteks bioregional.

Ia menyediakan basis pemikiran yang mantap bahwa permasalahan ekologi kita saat ini bukan konsumerisme, ledakan populasi, teknologi, peradaban, tetapi pemerintahan yang tersentralisir serta ekonomi kapitalisme. Daur ulang dan menghemat air saja tidak cukup, selama proses produksi kita dimonopoli oleh segelintir pemodal yang terpaksa menggunakan proses produksi menggunakan kantong plastik dan sumber-sumber mata air. Konversi ke energi yang terbarukan (yang memiliki daya terbatas dan tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan kota-kota yang besar) memerlukan desentralisasi radikal kota dalam skala yang rasional dan manusiawi, yang sekaligus akan menopang institusi politik yang baru, yaitu majelis-majelis warga swa-pemerintahan dengan demokrasi langsung yang terkonfederasi. Eko-komunitas berskala kecil ini akan bebas dari bahan bakar mengingat perkembangan teknologi kita memungkinkan kendaraan tanpa bahan bakar yang hanya mampu digunakan dalam jarak pendek. Dengan hancurnya kapitalisme, maka tekanan membabibuta atas produksi akan tergantikan dari motif keuntungan menjadi kebutuhan, yang dengan demikian akan semakin meminimalisir perkembangan industri skala raksasa yang berdampak buruk bagi lingkungan. Di satu sisi, ini akan mengakibatkan pengurangan jam kerja secara drastis sehingga orang-orang akan memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan kerja-kerja yang diinginkannya yang sekaligus bermanfaat untuk komunitasnya.

Buku ini berisi enam esai panjang dari Bookchin. Biografi diambil dari tulisan Janet Biehl, dengan judul asli Murray Bookchin: The Man Who Brought Radical Ecology and Assembly Democracy to The Left. Semua esai tersebut terbit di berbagai publikasi dan pamflet, kecuali esai terakhir, A Philosophy of Naturalism, yang merupakan sebuah pengantar untuk buku Bookchin, The Philosophy of Social Ecology: Essays on Dialectical Naturalism. Semuanya bisa diakses bebas dalam Bahasa Inggris di internet.

Esai pertama menggambarkan upaya Bookchin untuk menyeret ekologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan untuk punya sikap revolusioner, karena menurutnya, ekologi memiliki sifat kritis dan rekonstruktif. Hal ini ia lakukan karena kemendesakan situasi pada zaman kita, yang mana ia jelaskan pula dalam konteks historis anarkisme, dari agraris abad pertengahan, borjuis pada zaman pencerahan, proletariat pada zaman revolusi industri kapitalistik, dan ekologis setelah kekalahan kekuatan kiri revolusioner.

Di tengah pengembangan teoritiknya atas sisi demokratis dari anarkisme dan filsafat ekologi, Bookchin juga banyak meluangkan waktunya untuk menghantam ekologi dalam dari berbagai sisi. Esai kedua berisi keresahannya terhadap gerakan lingkungan dengan pengaruh ekologi dalam yang serius, sementara esai kelima adalah bagaimana ekologi sebagai ilmu pengetahuan telah masuk ke ranah akademis dengan pengaruh irasionalis mistisisme ekologi dalam. What is Ecology Social? adalah esai yang mencoba menjabarkan dengan singkat apa yang ia maksud dengan ekologi sosial, sembari mengkomparasikannya dengan ekologi dalam. Esai tersebut adalah bentuk kekesalannya karena kebanyakan orang mencoba menyamakan atau gagal untuk melihat perbedaan yang signifikan antara ekologi sosial dengan ekologi dalam.

Dari keseluruhan esainya, kontribusi lain yang tidak kalah penting berada dalam esai terakhir, yang juga menjadi esai yang paling susah diterjemahkan. Ia menyerang dialektika idealis Hegel dan materialisme dialektis dari Marx, dan dengan demikian, mengeluarkan apa yang ia sebut dengan naturalisme dialektis. Berbeda dengan Hegel dan Marx, naturalisme dialektis tidak menganggap ada “akhir sejarah”, yang ada hanya kemajuan perpanjangan pemahaman sosial dan individual manusia. Sebagai filsafat, naturalisme dialektis menekankan penggabungan dan kemajuan pemahaman ilmiah sebagai bagian integral dari pengembangan pemahaman ekologis manusia. Naturalisme yang menggambarkan dasar-dasar filosofis ekologi sosial, yang kemudian menjadi munisipalisme libertarian sebagai program politik konkrit dari ekologi sosial.

Dengan demikian, akan tidak lengkap jika membaca buku soal ekologi sosial tanpa membaca buku soal munisipal libertarian. Hingga kini buku soal munisipalisme, yaitu Politik Ekologi Sosial: Munisipalisme Libertarian, yang ditulis oleh Janet Biehl, murid Bookchin, ternyata sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Daun Malam di Yogyakarta. Setelah membaca buku ini, saya menyarankan anda untuk membaca juga buku karya Janet Biehl tersebut, yang jauh lebih mudah dipahami oleh banyak pembaca awam.

Salatiga, September 2017